Infoparlemensukabumi.com||Sejumlah petani yang tergabung dalam Serikat Petani Indonesia (SPI) PAC Jampang Tengah, Kabupaten Sukabumi meminta Kementerian ATR/BPN menolak permohonan perpanjangan Hak Guna Usaha (HGU) yang diajukan PT Bumiloka Swakarya. Diketahui perusahaan tersebut mengelola perkebunan kakao seluas 1.600 hektare di Jampang Tengah.
mereka sempat mendatangi Kantor Dewan Pengurus Cabang (DPC) Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Kabupaten Sukabumi untuk menyampaikan aspirasi kepada wakil rakyat dari partai tersebut.
Informasi itu dibenarkan Sekretaris Komisi III DPRD Jawa Barat Hasim Adnan. Pria yang juga menjabat sebagai Ketua DPC PKB Kabupaten Sukabumi itu mengatakan SPI mewakili para petani penggarap di area lahan HGU PT Bumiloka Swakarya.
“Jadi kedatangan kawan-kawan petani penggarap ini sebenarnya untuk menindaklanjuti hasil pertemuan sebelumnya saat saya diundang oleh Kang Riyandi yang juga salah satu tokoh pemuda di desa Panumbangan untuk bertemu perwakilan dari para petani penggarap,” kata Hasim, Jumat (5/8/2022).
“Hasil dari pertemuan pertama disepakati bahwa saya diminta untuk membantu memperkuat bargaining position para petani penggarap dalam memperjuangkan hak atas tanah yang sudah digarap sejak tahun 1989,” sambungnya.
Hasim Adnan (kemena hijau lengan panjang) bersama para petani. Foto: Istimewa
Hasim menjelaskan pada pertemuan pertama, dirinya meminta data dan fakta sekaligus kronologi sejak awal para petani menggarap di lahan eks perkebunan tersebut. Tujuannya untuk kepentingan pendalaman dan identifikasi masalah yang akan menjadi dasar argumentasi dalam memperjuangkan kepentingan para petani.
“Meskipun pada pertemuan pertama saya sudah mendengar kesaksian dari beberapa pentolan petani, termasuk Pak Kades yang juga hadir pada kesempatan tersebut. Saya meminta agar apa yang sudah disampaikan secara lisan bisa disusun ke dalam sebuah shadow report yang bisa menjadi rujukan bagi para pihak yang berkepentingan untuk bisa segera memastikan legalitas bagi para petani penggarap,” jelas Hasim.
Saat mendatangi Kantor PKB, menurut Hasyim para petani membawa sejumlah bahan berupa dokumen untuk diberikan kepada pihak yang berkepentingan dalam menolak perpanjangan HGU PT. Bumiloka Swakarya di lahan eks Perkebunan Panumbangan Jampang Tengah.
Dari salah satu berkas yang ditunjukan oleh Hasim Adnan ada tujuh poin alasan penolakan perpanjangan lahan tersebut, yaitu:
“1. 99,7 % lahan perkebunan sudah dikuasai oleh masyarakat di wilayah 5 Desa tersebut sehingga PT Bumiloka Swakarya hanya menguasai lahan secara fisik 0,030% saja
atau sekitar 5 Ha, sesuai pengakuan Bpk. Kakan Rusmawan sebagai kuasa Perusahaan saat pertemuan dengan komisi 1 DPRD Kabupaten Sukabumi dan BPN Kabupaten Sukabumi.
- PT.BUMILOKA SWAKARYA tidak mampu mengelola lahan dengan baik sesuai dengan peruntukannya
- Sejak Tahun 2000 PT.BUMILOKA SWAKARYA, berkonplik dengan warga sekitar dibuktikan dengan adanya warga masyarakat yang dilaporkan dan di tahan di Poires
Sukabumi dan di ulang pada tahun 2015 sekitar 22 Orang warga di panggil Kapolres Sukabumi dengan tuduhan penyerobotan lahan dan perusakan tanaman. - PT.BUMILOKA SWAKARYA,tidak mampu dan masih punya hutang kepada karyawan sejak tahun 2019 dan sampai saat ini ada puluhan karyawan yang tidak dibayar upahnya.
- Sebagaian besar Karyawan sudah tidak mau lagi bekerja di perkebunan PT.BUMILOKA SWAKARYA karena Perusahaan tidak mau mengelola tenaga kerja sesuai Undang- Undang Ketenaga kerjaan yang berlaku
- PT.BUMILOKA SWAKARYA sejak tahun 1992 sampai dengan sekarang tidak pernan membayar CSR kepada Peinerintah maupun Masyarakat setempat
- Setelah memperhatikan Permen ATR No.1 tahun 2017 mengisyaratkan PT.BUMILOKASWAKARYA tidak memenuhi syarat untuk di perpanjang.”
Tanggapan PT Bumiloka Swakarya
Dihubungi terpisah, Kakan Rusmawan, selaku kuasa Direksi PT Bumiloka Swakarya mengatakan pihaknya tidak mempermasalahkan apa yang dilakukan masyarakat, dalam hal ini para petani melalui SPI.
“Kalau menurut saya itu kan hak mereka untuk menolak untuk apapun. Kalau kita sebagai wakil dari perusahaan, syarat yang harus ditempuh, kan ada syarat-prasyarat (perpanjangan) sudah ditempuh dan berkas sudah kita beresin,” kata Kakan.
Menurutnya, di atas lahan seluas 1.600 hektare sebanyak 20 persennya sudah diserahkan kepada pihak BPN (ATR/BPN) untuk memenuhi PP Nomor 86 Tahun 2018. Ia menyebut masyarakat sendiri kekeuh meminta 100 persen lahan.
“Di atas lahan itu kita menanam kakao dan masih produksi walaupun jumlah tanaman kami tinggal sedikit karena dijarah ditebang oleh masyarakat. Katanya karena perusahaan sudah tidak berizin lagi,” ujarnya.
“Padahal kita pada tahun 2014 sudah mengajukan permohonan jauh-jauh hari, berkas kami punya, sudah diurus dua tahun sebelum berakhir. Hanya ada keterlambatan penanganan di BPN. Sampai permohonan lewat dari jangka waktu yang ditentukan 2016 berakhir. Hanya 2014 sebelumnya di UU No 5 (Tahun) 1960 (disebutkan) perusahaan diharuskan mengajukan kembali. Kami sudah melakukan itu dan syarat-syarat itu sudah dipenuhi semua,” sambungnya.
Komentar